Defisit Fiskal 2020 Melebar, Risiko Cetak Uang Dinilai Terlalu Tinggi
Anggota Komisi XI DPR RI Ramson Siagian. Foto : Arief/Man
Merespon dampak Covid-19 terhadap proyeksi defisit anggaran yang semakin lebar, Anggota Komisi XI DPR RI Ramson Siagian memberikan klarifikasi terkait polemik isu cetak uang. Menurutnya, sampai hari ini belum pernah ada rekomendasi resmi kepada Bank Indonesia agar melakulan Quantitative Easing dengan mencetak uang. Secara pribadi, ia pun menilai risiko cetak uang terlalu tinggi jika defisit fiskal 2020 tembus 6,27 persen.
Mengutip pernyataan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati, Ramson menyampaikan bahwa defisit APBN 2020 diproyeksikan mencapai 6,27 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih lebar dari defisit dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 yang mencapai 5,07 persen dari PDB. Dengan ini, nominal defisit anggaran meningkat dari Rp 852,9 triliun menjadi Rp 1.028,5 triliun.
Ramson menuturkan, sejak awal Maret 2020, anatomi perekonomian nasional bergeser cepat, dengan bertambahnya belanja negara antara lain peningkatan stimulus dampak Covid-19 dan di satu sisi potensi berkurangnya penerimaan negara secara signifikan. “Otomatis defisit fiskal semakin melebar, ini jelas akan memerlukan pembiayaan yang besar dan otomatis akan menambah jumlah utang yang besar pula," kata Ramson dalam keterangan persnya kepada Parlementaria, Rabu (20/5/2020).
Pelebaran defisit ini disebabkan pendapatan negara yang diproyeksikan terkontraksi -13,6 persen, turun dari Rp 1.760,9 triliun menjadi Rp 1.691,6 triliun. Turunnya pendapatan ini dikarenakan banyaknya insentif pajak yang digelontorkan Pemerintah. Dalam outlook APBN 2020, Menkeu Sri Mulyani menyebutkan pendapatan negara diperkirakan menurun Rp 69,3 triliun dari Rp 1.760,9 dalam Perpres 54/2020 menjadi Rp 1.691,6 triliun.
Sedangkan melalui pemulihan ekonomi nasional, Pemerintah menambah belanja negara subsidi bunga untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebesar Rp 34,2 triliun, perpanjangan diskon listrik sebanyak Rp 3,5 triliun, hingga bansos tunai diperpanjang hingga Desember 2020 sebesar Rp 19,62 triliun dan cadangan stimulus Rp 60 triliun. Sementara itu, Ramson menuturkan dari sisi kebijakan moneter dampak ekonomi Covid-19 juga memerlukan penyesuaian yang cepat. Pada sekitar akhir Maret dan awal April 2020 merebak isu cetak uang cukup memperlemah posisi rupiah dan sempat mendekati Rp 17.000 per dollar AS.
Tapi dengan berhasilnya Pemerintah memperoleh utang dengan menerbitkan obligasi Global Bond sebesar 4,3 miliar dollar AS, dan pada saat bersamaan BI mengupayakan Quantitative Easing dalam bentuk operasi moneter (bukan mencetak uang) untuk meningkatkan likuiditas, serta upaya memperoleh Repo line oleh BI dari The Federal Reserve sebesar 60 miliar dollar AS atau setara Rp 900 triliun saat kurs Rp 15.000 dan menjadi setara Rp 1.002 triliun saat kurs Rp 16.700 adalah upaya yang tepat untuk persiapan operasi moneter selanjutnya dan lebih tepat daripada melaksanakan usulan cetak uang yang berisiko terlalu tinggi.
“Memang ada juga dalam pelaksanaan Quantitative Easing sebagai bagian dari Modern Monetary Theory memberi contoh kebijakan The Bank of Japan. Tapi, dalam pelaksanaan teori - teori ekonomi dan moneter tentunya dipengaruhi oleh banyak variabel," jelas Ramson. Menurut Ramson, jika BI melakukan strategis dalam membuat kebijakan moneter, selain laju inflasi akan meningkat tajam, posisi rupiah akan melemah tajam dan cadangan devisa juga akan berkurang signifikan.
Dia menambahkan, pada salah satu rapat virtual, saat Menteri Keuangan dengan ekspresi yang prihatin memaparkan proyeksi pertumbuhan ekonomi skenario berat sekitar 2,3 persen dan skenario sangat berat sekitar minus 0,4 persen. Dia merespon, agar pemerintah tidak perlu terlalu fokus ke proyeksi pertumbuhan ekonomi, tetapi bagaimana agar puluhan juta Rakyat Indonesia yang bekerja di sektor informal dan forma yang kehilangan pendapatan agar mendapatkan bantuan sosial dengan tepat sasaran.
Dengan posisi PSBB ketat, yang terjadi adalah penambahan puluhan juta pengangguran dari yang bekerja informal maupun formal, dan paralel bertambah juga puluhan juta penerima bantuan sosial. Jika dilihat dari salah satu rumusan basis makro ekonomi Y = C +I+G+(NX), dengan posisi PSBB ketat, yang bisa didorong hanya konsumsi (C) itupun sangat terbatas, baik oleh yang punya “income ditambah saving” ataupun yang hanya punya “income cukup” serta yang dari bansos.
Karena yang punya “income ditambah saving” serta yang punya “income cukup” dengan PSBB yang ketat tetap saja ruang untuk meningkatkan konsumsi (C) sangat terbatas, sementara dengan meningkatnya potensi penerima Bansos jika sampai mencapai 50 persen dari penduduk Indonesia maka di satu sisi potensi belanja negara (G) akan meningkat signifikan karena belanja pegawai dan belanja barang terbatas tetap berjalan. Di sisi lain, kurang berfungsinya belanja negara atau variable (G) serta sektor swasta dalam negeri dan luar negeri untuk mendorong Investasi atau variable (I).
“Sementara transfer penerimaan negara juga akan menurun tajam karena bukan hanya pajak langsung yang menurun disebabkan potensi banyaknya perusahaan yang rugi. Tetapi pajak tidak langsung pun akan menurun tajam dengan berhentinya sekitar 75 persen aggregate demand dan supply,” ungkap politisi F-Gerindra ini. Posisi dampak covid-19 ini memaksa Pemerintah dan masyarakat menghadapi dilemma.
“Sejak rapat virtual pertama dengan Menkeu, BI dan OJK setelah melihat perkembangan data yang disampaikan, saya melihat dampak ekonomi Covid-19 akan menimbulkan dilema ekonomi. Ini antara memilih Rakyat tetap berada di rumah untuk waktu yang lama atau SPBB ketat, atau Rakyat untuk usia tertentu tetap produktif atau semi herd immunity, atau semua dilepas terbuka atau herd immunity? Ini memang menjadi “dilema“ yang sangat sulit untuk diputuskan, tetapi memerlukan keputusan,” tandas legislator dapil Jawa Tengah X itu. (ann/sf)